Wacana dan penerapan full day school atau sekolah sehari penuh di berbagai daerah di Indonesia telah menjadi topik perbincangan hangat yang tak kunjung usai. Sistem yang dibuat untuk memperpanjang durasi belajar siswa di sekolah ini digagas dengan tujuan mulia, yakni untuk memperdalam pemahaman materi, menguatkan pendidikan karakter, dan menjauhkan siswa dari pengaruh negatif di luar jam sekolah seperti tawuran antar pelajar. Kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 ini menetapkan jam sekolah selama delapan jam sehari atau 40 jam dalam lima hari kerja, dari pagi hingga sore hari. Sebuah sistem pendidikan yang telah sejak lama diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika, Singapura, dan Korea Selatan sebelum akhirnya diadopsi di Indonesia. Meski belum semua sekolah menerapkannya.
Sebagian orang tua, terutama mereka yang bekerja, umumnya menyambut baik wacana dan penerapan full day school yang telah lama di gagas oleh pemerintah. Karena dengan begitu anak-anak akan lebih terawasi dalam lingkungan pendidikan yang terstruktur, sehingga mengurangi kekhawatiran akan pergaulan bebas atau kegiatan negatif lain seperti tawuran. Sekolah diharapkan tidak hanya menjadi tempat untuk menimba pengetahuan, tetapi juga menjadi rumah kedua yang membentuk akhlak dan mengembangkan bakat siswa secara maksimal melalui kegiatan ekstrakurikuler yang lebih terintegrasi. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, mulai dari pengamat pendidikan, psikolog anak, hingga para orang tua dan siswa itu sendiri. Muncul kekhawatiran bahwa sistem ini justru akan merampas waktu bermain dan bersosialisasi anak dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya, serta berpotensi menimbulkan kelelahan dan stres yang dapat menghambat perkembangan optimal mereka.
Menimbang Plus dan Minus Sistem Pendidikan Full Day School
Setiap kebijakan tentu memiliki dua sisi mata uang. Begitu pula dengan penerapan full day school yang menawarkan berbagai kelebihan namun juga dibayangi oleh sejumlah kekhawatiran. Penting bagi orang tua untuk memahami kedua sisi ini secara berimbang sebelum memutuskan untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah yang sudah menerapkan full day school atau ke sekolah yang masih mengadopsi sistem pendidikan tradisional yang hanya berlangsung setengah hari dari senin-sabtu.
Sisi Positif: Harapan dan Manfaat Penerapan Full Day School
Pemerintah dan para pendukung sistem ini meyakini bahwa penambahan jam di sekolah akan membawa serangkaian manfaat yang signifikan. Berikut adalah beberapa poin positif yang kerap diasosiasikan dengan full day school:
1. Pendalaman Materi dan Pembelajaran Tuntas
Dengan waktu yang lebih panjang, guru memiliki kesempatan lebih luas untuk menyampaikan materi pelajaran secara mendalam dan tidak terburu-buru. Durasi belajar yang lebih lama memungkinkan pembelajaran yang lebih tuntas. Siswa dapat langsung mengerjakan tugas atau latihan di sekolah dengan pendampingan guru, sehingga sesampainya dirumah anak bisa langsung beristirahat dan tidak perlu lagi disibukkan dengan tuntutan Pekerjaan Rumah (PR). Ini sejalan dengan tujuan Kurikulum 2013 yang mendorong siswa untuk lebih aktif sehingga proses belajar tidak hanya berpusat pada guru. Dimana sisa waktu dapat dimanfaatkan untuk sesi tanya jawab, diskusi kelompok, atau evaluasi pembelajaran, sehingga siswa benar-benar memahami materi sebelum beranjak ke topik berikutnya.
2. Penguatan Pendidikan Karakter dan Pengawasan Intensif
Salah satu tujuan utama yang digarisbawahi oleh Kemendikbud saat menggagas kebijakan ini adalah penguatan pendidikan karakter. Dengan menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, para guru memiliki peluang lebih besar untuk menanamkan nilai-nilai positif seperti disiplin, tanggung jawab, religiusitas, dan kemandirian secara terintegrasi dalam kegiatan sehari-hari. Berbagai jurnal pendidikan, seperti yang dipublikasikan di ResearchGate, menyebutkan bahwa interaksi yang lebih intens antara guru dan siswa dapat membantu guru lebih memahami karakter setiap anak. Pengawasan yang lebih ketat juga diharapkan dapat meminimalisir peluang siswa terlibat dalam kegiatan negatif seperti tawuran, pergaulan bebas, atau kecanduan gadget sepulang sekolah.
3. Pengembangan Bakat dan Minat Melalui Ekstrakurikuler
Full day school memungkinkan sekolah untuk merancang dan melaksanakan program ekstrakurikuler yang lebih beragam dan terstruktur. Waktu sore hari dapat dioptimalkan untuk kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakat siswa, mulai dari olahraga, seni, sains, hingga keagamaan. Hal ini memberikan ruang bagi siswa untuk menyalurkan energi dan kreativitas mereka ke arah yang positif. Orang tua tidak perlu lagi repot mencari lembaga kursus tambahan di luar sekolah, karena pengembangan diri anak sudah terfasilitasi dengan baik di lingkungan sekolah.
4. Solusi Bagi Orang Tua yang Bekerja
Tak dapat dipungkiri, bahwa bagi banyak keluarga modern yang tinggal di perkotaan di mana kedua orang tua sama-sama bekerja, full day school turut memberikan sedikit rasa tenang. Mengapa? Sebab orang tua tidak perlu khawatir meninggalkan anak mereka sendirian di rumah atau mencari pengasuh tambahan setelah jam sekolah usai. Mereka dapat yakin bahwa anak-anak mereka berada di lingkungan yang aman dan edukatif di bawah pengawasan para pendidik hingga sore hari, selaras dengan jam kerja orang tua. Sehingga sepulang bekerja, orang tua bisa langsung menjemput anak-anak mereka untuk pulang bersama.
5. Meningkatnya Interaksi Sosial di Lingkungan Sekolah
Dengan memberlakukan sistem ini, anak juga akan memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan guru dan teman-teman sebaya mereka. Hubungan yang intens ini dapat mempermudah siswa dalam bersosialisasi dan membangun ikatan pertemanan yang kuat di sekolah. Sehingga tercipta lingkungan belajar yang lebih menyenangkan bagi anak.
Sisi Negatif: Tantangan dan Kritik Terhadap Full Day School
Di balik berbagai potensi manfaatnya, full day school juga menuai banyak kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak termasuk orang tua. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang perlu menjadi pertimbangan serius:
1. Potensi Kelelahan Fisik dan Stres Mental pada Anak
Ini adalah kekhawatiran terbesar yang paling sering disuarakan. Para kritikus, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam beberapa kesempatan, berpendapat bahwa memaksa anak, terutama di jenjang Sekolah Dasar (SD), untuk belajar selama delapan jam sehari dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental (burnout). Sebab kemampuan anak untuk berkonsentrasi juga memiliki batas. Aktivitas belajar yang monoton dan berkepanjangan dikhawatirkan justru akan menimbulkan rasa jenuh, bosan, bahkan stres pada anak. Para psikolog juga mengingatkan bahwa anak yang lelah dan tertekan justru akan sulit menyerap pelajaran secara efektif.
2. Berkurangnya Waktu Berkualitas dengan Keluarga
Meskipun akhir pekan menjadi sepenuhnya milik keluarga, interaksi harian tetaplah penting. Anak yang pulang sore dalam keadaan lelah seringkali tidak lagi memiliki energi untuk berinteraksi, bercerita, atau sekadar bermain dengan orang tua dan saudaranya. Waktu emas untuk membangun ikatan emosional keluarga di sore hari menjadi hilang. Padahal, peran keluarga dalam pendidikan informal dan pembentukan karakter anak tidak kalah pentingnya dengan pendidikan formal di sekolah.
3. Terbatasnya Sosialisasi dengan Lingkungan Masyarakat
Anak adalah bagian dari masyarakat. Waktu bermain dengan teman-teman di lingkungan rumah adalah sarana penting bagi mereka untuk belajar keterampilan sosial yang berbeda dari yang didapatkan di sekolah. Dirumahlah mereka belajar memahami keragaman latar belakang dari teman sebayanya di lingkungan yang lebih natural dan tidak terstruktur. Full day school, seperti yang dianalisis dalam beberapa jurnal, berisiko ‘mengurung’ anak dalam gelembung sekolah dan menjauhkan mereka dari realitas kehidupan sosial di sekitarnya.
4. Kesiapan Sarana dan Prasarana yang Belum Merata
Penerapan full day school yang ideal menuntut ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, seperti ruang kelas yang nyaman, perpustakaan yang lengkap, laboratorium, lapangan olahraga, kantin yang higienis, dan tempat ibadah. Faktanya, kondisi sekolah di seluruh Indonesia sangat beragam. Banyak sekolah di daerah-daerah yang masih kekurangan fasilitas dasar yang memadai. Sehingga memaksakan kebijakan ini secara seragam dianggap tidak adil dan hanya akan efektif di sekolah-sekolah elite di kota besar.
5. Menambah Beban Biaya bagi Orang Tua
Meskipun bertujuan baik, full day school seringkali berimplikasi pada biaya yang lebih tinggi. Sekolah memerlukan dana tambahan untuk operasional, sebab harus membayar honor guru untuk jam kerja yang lebih panjang, serta menyediakan fasilitas penunjang. Hal ini seringkali dibebankan kepada orang tua dalam bentuk iuran atau SPP yang lebih tinggi, terutama di sekolah swasta.
Mencari Titik Tengah yang Ideal
Ditengah segala kontroversinya, pemerintah telah menegaskan bahwa tidak ada keharusan bagi semua sekolah untuk menerapkan sistem ini. Pemerintah memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan untuk menyesuaikan hal ini dengan kondisi dan kesiapan disekolah masing-masing. Sebuah jalan tengah yang cukup bijaksana.
Pada akhirnya, keputusan untuk menerapkan full day school atau tidak haruslah didasarkan pada kajian mendalam yang mempertimbangkan kesiapan sekolah, kebutuhan siswa, dan konteks sosial budaya masyarakat setempat. Tujuannya harus tetap satu: memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan haknya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik dari segi intelektual, emosional, maupun sosial, tanpa harus kehilangan masa kecil mereka yang berharga.
Leave a Comment